Selasa, 11 Desember 2012

Moon.

Aku besar, aku mampu membantu mereka dan mungkin aku telah membantu mereka namun tak satupun dari mereka mengingatku. Ku mengikuti mereka setiap saat, dengan kecepatan tingginya aku mencoba terus mengikuti dan mendampinginya. Walaupun sudah begitu, aku tetap saja mereka lupakan. Terutama mereka yang hidup disebuah kota besar yang semuanya telah tersedia.

Aku bertahan akan temperatur panas dan dingin yang bercampur ini delapan puluh enam ribu empat ratus detik penuh disetiap harinya. Aku hadir disemua penjuru peradaban mereka. Aku tak peduli sejauh apa peradaban itu, aku akan ada disana untuk memantulkan cahaya terang dari si dapur api.

Nyanyian-nyanyian mereka yang membawa namaku ditiap baitnya menyejukan hatiku yang sering dilanda perasaan kesal. Caci maki dihatiku bagai lenyap seketika saat mereka bernyanyi. Walau tanpa suara yang terlalu merdu, aku tetap saja menikmati nyanyian-nyanyian mereka. Darisitu kadang aku tahu, mereka melupakanku bukan karena mereka ingin.

Tak sadarnya mereka akan kehadiranku bukan sepenuhnya salah mereka. Mungkin aku selalu ditutupi oleh danau layang yang aku panggil dengan nama awan. Kesal memang, pengorbanan ku harus menjadi tak terasa karena si Awan, tapi aku tak marah ataupun dendam kepadanya. Aku tahu Awan tak bisa mengendalikan diri, dia masih muda. Dan saat dewasa dia akan sadar lalu pergi tak tahu kemana. Itulah hal yang membuat aku tak pernah marah kepada Awan.

Ya sudahlah, buat apa aku mengharapkan sebuah penghargaan berlebih dari mereka. Ini sudah menjadi tugasku, dan mendapat penghargaan bukanlah hak ku. Dan buat aku mengharapkan sesuatu yang lebih saat aku berkorban? aku jadi ingat kata si Rambut api. Saat aku sedang berada didepannya dia berucap suatu kalimat kepadaku yang berbunyi "Tak usah lah kamu berharap sesuatu yang lebih saat kamu berkorban. Keikhlasan adalah hal yang membuat kamu senang, bukan sesuatu yang lebih".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar